Jakarta – Polemik antara Komisi VII DPR dan Menteri BUMN Dahlan Iskan terkait audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pemborosan PLN Rp 37 triliun di 2009/2010 terus bergulir. Pimpinan BPK angkat bicara.
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri mengatakan, polemik tersebut berawal dari hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atau audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan energi primer yang salah satunya ada di tubuh PLN tahun 2009/2010.
Hasan menjelaskan, audit PDTT dilaksanakan langsung atas permintaan Komisi VII DPR itu memang menyimpulkan ‘PLN kehilangan kesempatan untuk berhemat’ atau banyak disebut inefisiensi di tubuh PLN Rp 37 triliun.
“BPK melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas pengelolaan energi primer pada PLN, PGN, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Pertamina, dan BP Migas tahun 2009/2010. Pemeriksaan itu atas permintaan DPR. LHP (laporan hasil pemeriksaan) sudah disampaikan kepada DPR dan pimpinan instansi yang diperiksa, termasuk Kementerian BUMN,” tutur Hasan kepada detikFinance, Senin (29/10/2012).
Laporan hasil pemeriksaan telah diserahkan kepada DPR dan pihak yang menjadi objek pemeriksaan di 2011. Hasan mengaku, inefisiensi yang mencapai Rp 37 triliun saat Dahlan menjadi Dirut PLN terjadi akibat PLN gagal memperoleh pasokan bahan bakar murah yakni gas untuk pembangkit listriknya dan juga terkait gagalnya pembangunan pembangkit listrik baru berbahan bakar gas.
“Hal itu karena tata niaga gas yang kurang mendukung penyediaan gas bagi PLN. Gas kita lebih banyak diekspor untuk memenuhi kontrak ekspor jangka panjang dengan negara lain,” tambahnya.
Selain itu, tambah Hasan, dari hasil pemeriksaan BPK, PLN juga dinilai tidak tegas dalam melakukan kontrak dengan pemasok gas. Menurutnya, tidak ada klausul sanksi dalam kontrak, yakni ketika pemasok gas tidak memenuhi pasokan gasnya ke PLN sehingga PLN harus mengoperasikan pembangkit dengan BBM yang lebih mahal dan pemeliharaan pembangkit menjadi lebih tinggi.
“Semua itu menimbulkan pemborosan bagi PLN, yang pada akhirnya harus ditutup dengan subsidi dari APBN,” pungkasnya.
Sementara itu, secara terpisah Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto menilai temuan audit BPK yang menyebutkan PLN kehilangan kesempatan untuk berhemat karena pasokan gas ke pembangkit listrik milik PLN berkurang.
“PLN dihadapkan pada dua pilihan, yakni mematikan PLTG dengan konsekuensi terjadi pemadaman bergilir atau mengoperasikan dengan bbm, konsekuensi biaya operasi bertambah namun pemadaman bergilir bisa dihindarkan,” tegas Bambang.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PDIP Effendy Simbolon kemarin mengatakan, Komisi VII hanya ingin meminta verifikasi dari Dahlan terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal temua pemborosan PLN Rp 37 triliun di 2009/2010. Saat itu Dahlan menjabat sebagai Direktur Utama PLN.
Menurut Effendy, laporan BPK bukanlah perkara enteng, ini merupakan perkara besar yang menyangkut kerugian negara.
“Ini perkara besar, tulisannya saja ‘PLN kehilangan kesempatan untuk berhemat’ sebenarnya itu artinya kerugian negara, jadi kalau sudah kerugian negara ini sudah tindak pidana, jadi jangan main-main,” tegasnya.
Selain itu, Effendy juga meminta Dahlan memenuhi undangan Komisi VII DPR setelah Senin kemarin Dahlan tidak hadir karena ikut dalam kunjungan kerja Presiden SBY.
“Janganlah bersembunyi di balik presiden dengan alasan kunker (kunjungan kerja). Kalau presidennya tahu ya malu juga. Apalagi dituding mempolitisasi, kalau pun itu tuduhannya ya karena kami semua di sini politisi,” ucapnya.
“Siapapun yang membuat negara rugi dia korupsi, ini pidana, kalau beliau merasa benar terangkan ke kami. Ingat, kami tidak menghakimi, kami juga dalam waktu dekat akan memanggil Mantan Menteri ESDM, ini biar jelas penyebab kenapa PLN bisa gagal berhemat Rp 37 triliun,” kata Effendy.
Dalam kesempatan tersebut, Effendi mengancam akan memanggil paksa Dahlan jika tak hadir. “Kami akan panggil paksa Dahlan karena kami punya kewenangan. Ada pasalnya dalam tata tertib, ini bukan perkara kecil. Century saja Rp 6 triliun sangat besar, dampaknya ini Rp 37 triliun lho,” tegas Efendi.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengatakan, kehilangan kesempatan penghematan tersebut terjadi karena tidak adanya pasokan gas ke PLTG. “Karena nggak ada gas,” ucapnya.
Tidak dapat gas, kata Pamudji, karena Kementerian ESDM dan BP Migas memiliki prioritas tersendiri untuk pasokan gas. “Itu ada Permen ESDM nomor 3 tahun 2010 terkait prioritas gas,” jelasnya.
Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini juga mengatakan, penyebab pemborosan yang ditemukan BPK dikarenakan tata niaga gas.
“Ada priotitas peruntukkan gas, di mana prioritas pertama untuk injeksi produksi minyak (minyak duri yang dikelola Chevron), untuk listrik, untuk pupuk dan terakhir untuk industri,” kata Rudi.
Dikarenakan prioritas gas tersebut, alokasi gas untuk PLN tidak ada.
“Betul (karena prioritas gas). Tapi kan barangnya nggak ada. Barangnya nggak ada. Lagipula, masalahnya adalah mau ke mana ini didahulukan. Waktu itu kan harus injeksi uap nomor satu, baru PLN, lalu pupuk yang terkahir baru industri. Itu yang jadi masalah. Karena pada saat itu ketika gas shortage, kalau nggak salah 20 hari, karena sesuai permen itu yang dilakukan,” ungkap Rudi.